Huhujanan Tanpa Payung Menuju Bukit Kiara Payung


Sekitar tahun 90an Sentul terkenal dengan sirkuit internasionalnya. Waktu pun berlalu, namun justru kini Sentul dikenal dengan perbukitan alam dan tawaran bermacam petualangnya.

Berjarak tidak jauh dari Jakarta dan tidak rawan macet tampaknya menjadi nilai lebih bagi Sentul. Sangat memudahkan warga Jakarta karena cukup menelusuri tol Jagorawi arah Bogor sekitar 1 jam kita akan sampai di Sentul.

Alam pegunungan berbukit membentang luas menjadi alasan kuat mengapa orang warga Jakarta kini menjadikannya sebagai alternatif pelepas penat. Jika cuaca cerah dan tidak berkabut maka view Gunung Salak, Pangrango, Geulis, Halimun ataupun pegunungan-pegunungan kecil lainya juga dapat terlihat dan dirasakan dari Sentul. 

Bagi penggemar petualangan alam, Sentul juga mulai mendapatkan tempat. Dengan beragam aktivitas yang bisa dipilih, mulai dari trekking, cycling, jogging, camping hingga sekedar kongkow ngopiying cantik dgn view alam, begitu mudah dan terlihat mewah dapat dilakukan di Sentul. Puluhan Curug dibalik punggung bukit dan pegunungannya juga sayang kalau dilewatkan.

Saat ini selain daerah Puncak, boleh dibilang Sentul adalah salah satu primadona wisata baru di Bogor Jawa Barat. Sentul lagi naik daun dan kegiatan outdoor yang sedang booming saat ini adalah trekking. Tidak sedikit penawaran jasa open trip di medsos yang menyediakan pelayanan penjelajahan perbukitan Sentul. Harga dan rutenya pun beragam. Banyak pula komunitas runner yang menjadikan perbukitan Sentul sebagai jalur trekking mereka. 

Meski sudah beberapa kali menikmati pesona alam yang ada disekitar Sentul, saya sempat bengong ketika teman saya bilang kita lewat pengaduan ya. Saya kira pengaduan yang dia katakan tadi itu adalah suatu bagian dari Developer Sentul City sebagai tempat mengadu warga/nasabahnya. Kita tahu bahwa Sentul City adalah developer yang menguasai sebagian besar perbukitan di Sentul. 

Ternyata saya salah. Pengaduan adalah salah satu tempat di Sentul dimana disitu ada Leuwi atau Curug yang bernama Curug Pengaduan. Nama Pengaduan terdengar akrab seperi serapan dari bahasa Indonesia yang berarti tempat mengadu atau kata kerja mengadu. Menurut warga setempat, disitu ada Curug yang dulu sering digunakan warga untuk mengadu atau curhat tentang masalah yang dihadapi. Oalah. 

Walau tanpa matahari, pagi ini masih cukup cerah saat kami memulai trekking dari jalur Pengaduan. Cukup jelas adanya papan petunjuk penanda awal jalur treking dengan tulisan "Trekking" dipapan berpanah ke arah masuk semak belukar. Ternyata dibalik itu ada jalan. Tidak lama setelah itu kedatangan kami disambut gemericik air mengalir disebelah kiri dan tidak jauh setelahnya berujung  pada pancuran air kecil.

Jalur belum menanjak sampai kami merasakan butiran air kecil menyapa kulit dan tubuh. Teman saya bernama Onah berteori bahwa itu bukan hujan tapi dari tebalnya kabut diatas yang memunculkan buliran embun metetes kebawah. Oh ok kita anggap teori Onah benar.


Memang sih kalau diihat ke atas ke arah perbukitan tampaknya kabut tebal telah bergerak menyelimuti bukit dan kabut tipis mulai mendatangi serta menyentuh tubuh tubuh kami. Jam ditangan menunjukan pukul 8:25, matahari sama sekali belum muncul. Dingin mulai terasa sesaat ketika kami beranjak masuk vegetasi pepohonan. Namun begitu keluar rerimbunan pohon, kami disapa butiran air yang turun sedikit lebih banyak alias mulai gerimis. Ternyata memang benar turun hujan beberapa saat kemudian. Baju dan jaket saya mulai basah. Sampai disini Teori Onah salah. 

Beruntung didepan ada warung kecil yang menyediakan minuman dan makanan ringan, ada juga pisang cavendis segar. Kalau musim durian, bisa jadi ada durian juga diwarung ini. Di sini kami berjumpa dengan dua komunitas runner berbeda yang juga sedang berteduh. Terlihat dari pakaian olahraga mereka, sepatu runner dan daypack yang sangat simpel hanya untuk botol minuman dan kemungkinan tempat HP atau gadget. Warung kecil dengan halaman berteras atap, kini tampak menjadi sesak, ramai di isi sekitar belasan orang.

Hujan sedikit reda tinggal menyisakan gerimis, saat kami melanjutkan perjalanan kembali. Menu jalurnya masih naik dan turun dengan elevasi yang tidak terasa berganti gantian menanti. Pemandangan di kiri kanan jalan sangat asri, beberapa terbuka dan beberapa dipenuhi pepohonan rapi. Terdengar juga kicauan burung bersahutan mulai bernyanyi.



Hujan turun menjadikan tanah menjadi liat dan sedikit lebih licin. Sangat tidak disarankan kalau hanya memakai sandal meski sandal gunung sekalipun. Memakai sepatu sangat dianjurkan demi keamanan dan kenyamanan bersama. Hal ini terjadi pada teman saya, Onah. Agar nyaman Ia terpaksa harus berulang kali membersihkan sandal gunungnya karena beberapa kali terperosot, tanah liat masuk ke sandalnya dan tanah liat berada dibawah telapak kakinya. 

Tidak diburu waktu, awalnya kami berjalan lambat hingga sekitar jam 10 baru sampai di Bukit Kiara Payung. Bukit ini adalah salah satu shelter dengan ketinggian 786 mdpl. Sudah +-3 jam berjalan, dengan trek terakhir sebelum puncak bukit, konturnya menanjak sejauh +-1 km. Lumayan menantang, bikin tarikan nafas lebih cepat sementara langkah kaki mulai gundah. Baju yang sempat basah karena hujan tadi, kini sudah bercampur dengan keringat. Masih belum kering. Tapi semua keresahan dari rasa lelah itu seolah hilang begitu sampai sampai di pintu gerbang Bukit Kiara Payung. 

Ya sampai di puncak bukit ini, lelah hilang entah pergi kemana. Yang pasti setelah tiba di atas, saya melemparkan pandangan jauh ke sekeliling bukit, lalu menuju ke satu2nya warung yang ada disitu, memesan teh hangat dan menyambar sesisir pisang. Maklum dari rumah belum sarapan. 

Kaki selonjoran berteman teh hangat sambil menikmati pemandangan alam pegunungan didepan sungguh merupakan kemewahan. Hamparan bukit berbukit tersaji. Udara segar melimpah ruah. Semua gratis kecuali teh hangat dan sesisir pisang tadi. Maka nikmat Tuhan manakah yg kamu dustakan?. Alhamdulillah.

Komentar

Postingan Populer