Lereng Gunung Merbabu Antara Wekas-Kedakan
Tiga kilometer tidaklah jauh. Namun akan sangat terasa jika jalan yang dilalui menanjak terus. Rasanya bisa seperti berjalan datar 30 kilometer. Lalu bagaimana jika itu harus dijalani oleh seorang anak kecil? Hampir setiap hari!
Cerita ini berawal dari ketidaktahuan saya tentang detail jalur pendakian gunung Merbabu Jawa Tengah tempo hari. Sedikit info hanya saya peroleh dari blog orang dan wikipedia. Namun karena itulah saya bertemu dengan Wahyutyaningsih. Siapakah ia?
Jadi meski perempuan, panggil saja ia Wahyu (10th), saat ini kelas 4 SD (September 2013) di Wekas. Wekas adalah salah satu desa di Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Berada dipinggir jalan Raya Kopeng-Salatiga Jawa Tengah, Wekas merupakan desa yang menjadi pintu masuk atau titik start jalur pendakian Gunung Merbabu.
Saya bertemu Wahyu ketika ia berjalan pulang sendiri menuju kerumahnya. Berseragam baju batik sekolah sambil menggendong tas, nampak seperti anak-anak SD seusianya.
Saat pulang sekolah adalah saat yang menyenangkan ketika lelah mulai mendera karena seharian belajar dan perut keroncongan. Pulang sekolah juga artinya waktu yang menyenangkan untuk sekedar melanjutkan bermain dengan teman-teman di rumah atau justru untuk tidur siang.
Namun bagi Wahyu bel tanda pulang sekolah terdengar seperti bunyi peluit tanda start dimulainya lomba mendaki. Itu karena ia harus pulang kerumah dengan cara mendaki. Jarak antara sekolah dan rumahnya memang hanya 3 kilometer. Meski sama-sama di lereng gunung Merbabu, lokasi rumah Wahyu berada didaerah yang lebih atas daripada sekolahnya. Jadi ketika pulang sekolah itu artinya Wahyu kecil harus mendaki lereng Merbabu, sementara berangkat sekolah Wahyu harus turun gunung.
Sangat tidak masalah bila ada yang menjemput atau sekedar kendaaran umum seperti angkot. Berada di jalur sepi, meski sudah beraspal jalananya yang selebar 3 meter, tentu saja kendaraan umum tidak ada di sini selain ojek. Keluarganya Wahyu pun termasuk keluarga biasa. Itu saya tahu dari kondisi rumahnya yang mungil dan bertembok kayu sederhana. Sehingga kendaraan motor atau mobil seperti sedan Lancer yang di sopiri Dul Ahmad Dani (13th) untuk antar jemput sekolah tidak punya.
Mau tidak mau jalan kaki menjadi pilihanya. Jika sedang beruntung seperti tetangga yang kebetulan lewat naik motor, Wahyu akan ditawari di bonceng naik motor. Tapi itu tidak bisa di andalkan. Apalagi mau naik ojek, wah bisa bangkrut uang saku yang hanya 1000-2000/hari. Sementara ojek disini mau mengangkut penumpang dengan tarif 20rb sekali jalan. Naik motor mungkin cuman 15-20menit. Namun dengan berjalan kaki bisa memakan waktu 1-1,5jam.
Desa Kedakan dimana ia dan keluarganya tinggal terletak di ujung jalur pendakian Merbabu melalui jalur Wekas. Di desa Kedakan ini pula posisi basecamp tempat melapor pendaki berada, tidak jauh dari rumah Wahyu.
Jika diperhatikan, ada yang unik dari jalanya Wahyu. Ia berjalan dengan cara zig-zag. Ini tekhnik umum yang dilakukan untuk mengatasi curamnya jalan yang dilalui agar tidak mudah lelah. Saya ngga tahu apakah itu diajarkan oleh para pendaki yang mungkin pernah ditemuinya atau dari proses belajar sendiri karena pengalaman.
Yang pasti selama 4 tahun ini hingga Wahyu saat ini duduk dikelas 4 SD, Wahyu lebih sering berjalan kaki berangkat dan pulang sekolah setiap hari kecuali Minggu. Untuk bersekolah sampai lulus SD saja berarti masih ada 2 tahun lagi bagi Wahyu menuruni dan mendaki lereng Merbabu.
Nggak terasa kami harus berpisah karena Wahyu telah sampai dirumahnya. Saya pun melanjutkan ke Base Camp gunung Merbabu. Selamat istirahat Wahyu dan tetap semangat ya Dek.
Jadi meski perempuan, panggil saja ia Wahyu (10th), saat ini kelas 4 SD (September 2013) di Wekas. Wekas adalah salah satu desa di Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Berada dipinggir jalan Raya Kopeng-Salatiga Jawa Tengah, Wekas merupakan desa yang menjadi pintu masuk atau titik start jalur pendakian Gunung Merbabu.
Saya bertemu Wahyu ketika ia berjalan pulang sendiri menuju kerumahnya. Berseragam baju batik sekolah sambil menggendong tas, nampak seperti anak-anak SD seusianya.
Saat pulang sekolah adalah saat yang menyenangkan ketika lelah mulai mendera karena seharian belajar dan perut keroncongan. Pulang sekolah juga artinya waktu yang menyenangkan untuk sekedar melanjutkan bermain dengan teman-teman di rumah atau justru untuk tidur siang.
Namun bagi Wahyu bel tanda pulang sekolah terdengar seperti bunyi peluit tanda start dimulainya lomba mendaki. Itu karena ia harus pulang kerumah dengan cara mendaki. Jarak antara sekolah dan rumahnya memang hanya 3 kilometer. Meski sama-sama di lereng gunung Merbabu, lokasi rumah Wahyu berada didaerah yang lebih atas daripada sekolahnya. Jadi ketika pulang sekolah itu artinya Wahyu kecil harus mendaki lereng Merbabu, sementara berangkat sekolah Wahyu harus turun gunung.
Sangat tidak masalah bila ada yang menjemput atau sekedar kendaaran umum seperti angkot. Berada di jalur sepi, meski sudah beraspal jalananya yang selebar 3 meter, tentu saja kendaraan umum tidak ada di sini selain ojek. Keluarganya Wahyu pun termasuk keluarga biasa. Itu saya tahu dari kondisi rumahnya yang mungil dan bertembok kayu sederhana. Sehingga kendaraan motor atau mobil seperti sedan Lancer yang di sopiri Dul Ahmad Dani (13th) untuk antar jemput sekolah tidak punya.
Mau tidak mau jalan kaki menjadi pilihanya. Jika sedang beruntung seperti tetangga yang kebetulan lewat naik motor, Wahyu akan ditawari di bonceng naik motor. Tapi itu tidak bisa di andalkan. Apalagi mau naik ojek, wah bisa bangkrut uang saku yang hanya 1000-2000/hari. Sementara ojek disini mau mengangkut penumpang dengan tarif 20rb sekali jalan. Naik motor mungkin cuman 15-20menit. Namun dengan berjalan kaki bisa memakan waktu 1-1,5jam.
Desa Kedakan dimana ia dan keluarganya tinggal terletak di ujung jalur pendakian Merbabu melalui jalur Wekas. Di desa Kedakan ini pula posisi basecamp tempat melapor pendaki berada, tidak jauh dari rumah Wahyu.
Jika diperhatikan, ada yang unik dari jalanya Wahyu. Ia berjalan dengan cara zig-zag. Ini tekhnik umum yang dilakukan untuk mengatasi curamnya jalan yang dilalui agar tidak mudah lelah. Saya ngga tahu apakah itu diajarkan oleh para pendaki yang mungkin pernah ditemuinya atau dari proses belajar sendiri karena pengalaman.
Yang pasti selama 4 tahun ini hingga Wahyu saat ini duduk dikelas 4 SD, Wahyu lebih sering berjalan kaki berangkat dan pulang sekolah setiap hari kecuali Minggu. Untuk bersekolah sampai lulus SD saja berarti masih ada 2 tahun lagi bagi Wahyu menuruni dan mendaki lereng Merbabu.
Nggak terasa kami harus berpisah karena Wahyu telah sampai dirumahnya. Saya pun melanjutkan ke Base Camp gunung Merbabu. Selamat istirahat Wahyu dan tetap semangat ya Dek.
Komentar
Posting Komentar