Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Sejarah Kalimantan Selatan


Cuaca panas musim kemarau bulan Agustus tidak saya rasakan, begitu saya masuk ke Masjid Sultan Suriansyah siang itu. Ternyata, hawa sejuk itu dibawa angin melalui 17 pintu masjid, suatu jumlah yang sama dengan jumlah rakaat shalat wajib sehari semalam.
 
Tentu bukan suatu hal yang kebetulan, kesamaan jumlah pintu tersebut dengan jumlah rakaat shalat fardhu. Jumlah pintu itu berfungsi untuk mengingatkan dan meluruskan niat umat agar tetap mendirikan 17 rakaat shalat fardhu yang telah diperintahkan.  Pada masing-masing pintu  terlihat diberi nama melalui ukiran kaligrafi yang tertera diatas masing-masing pintu, sebagaimana dua masjid besar di tanah suci, Masjidil Haram di Makkah dan Masjidil Nabawi di Madinah.

Berada di Banjarmasin pada bulan Ramadhan sungguh menyenangkan.  Saya mencoba menikmati wisata religi, kali ini mengunjungi situs utama perkembangan Islam di Kalimantan Selatan. Saya baru ngeh kenapa masjid Sultan Suriansyah ini merupakan situs utama di Banjarmasin bahkan di Kalimantan Selatan karena disinilah jejak awal  bagaimana awal kota Banjarmasin berdiri dan Islam dikenal luas di Bumi Lambung Mangkurat dengan damai.

Inilah masjid kebanggaan masyarakat Banjarmasin dan Kalimantan Selatan pada umumnya. Tidak hanya bangga karena keunikan bangunan fisik masjid yang kokoh dan sederhana dengan ornamen khas Banjar-nya  di abad 15, tapi juga karena pesan sejarah yang disampaikan oleh bangunan yang didirikan pada tahun 1526M.

Ketika itu datang Khatib Dayyan sang utusan yang dikirim oleh Sultan Trenggono, Raja Ketiga dari Kerajaan Islam Demak. Menurut HA. Tajudin Noor Nast dalam artikel “Khatib Dayyan: Penyebar Islam dan Panglima Perang”, Khatib Dayyan merupakan keturunan langsung dari Sunan Gunung Jati. Diutus dengan misi membantu berperang melawan pamanya sendiri yaitu Raden Tumenggung dari Kerajaan Dwipa.

Keajaiban pun terjadi ketika tak ada darah tertumpah. Kepiawaianya diplomasi sang utusan Demak akhirnya menyatukan sang paman dan ponakan yang awalnya saling serang. Sejak itu Pangeran Samudera mengikrarkan diri menjadi muslim, mengganti nama dari Pangeran Samudera menjadi Sultan Suriansyah.

Wakil Ketua IV Bidang Pendidikan Masjid Sultan Suriansyah, H. Ahmad Mahfuz yang saya temui mengatakan sejak itu Islam dikenal luas. “Bangunan masjid Sultan Suriansyah pun menjadi model bagi ribuan masjid berikutnya di Banjarmasin”,  tambahnya. 

Kini bangunan masjid berdiri hampir 5 abad ini menjadi salah satu masjid tertua di  Indonesia. Menurut Pak Ahmad, masjid terakhir di pugar pada bulan Desember 1999 bertepatan dengan hari jadi kota Banjarmasin yang ke 473. Benda peninggalan sultan yang masih utuh dan masih dipergunakan hingga kini adalah mimbar utama masjid. Sementara dua daun pintu asli yang memuat prasasti tentang berdirinya masjid masih bisa kita liat di samping kiri dan kanan mimbar.

Dominasi warna hijau dan kuning menjadi ciri khas yang membungkus hampir seluruh ornamen masjid yang terbuat dari kayu Ulin. Kayu Ulin atau di sebut kayu besi  adalah kayu keras terbaik khas Kalimantan. Kayu Ulin mempunyai karakter kuat, badannya tidak pecah, tidak lekang karena panas dan tidak bengkok karena air atau hujan.

Mengunjungi  masjid  Sultan Suriansyah yang berada tepat di bibir Sungai Kuin ini memberikan sensasi keberadaan Islam di abad ke 15. Masjid Sultan sukses membawa kita ke sana.

Komentar

Postingan Populer