Berbagi Kisah Bersama Progo
Was it something that I said
Or didn't say this time
And I don't know if it's me or you
But I can see the skies are changing
In all the shades of blue
And I don't know which way it's gonna go
(Please Don't Stop The Rain, James Morisson)
Sebetulnya Bagus belum tersadarkan penuh dari tidurnya ketika
perlahan laju kereta berhenti dijalur 3 stasiun Lempuyangan,
Jogjakarta pagi itu. Swatch ditanganya menunjukan 6.30. Inilah tujuan akhir
dari kereta Progo yang sejak semalam membawanya meninggalkan
Jakarta.
Setiap perjalanan punya kisah. Kisah penumpang
kereta Progo malam itu sebagian besar di isi dengan tetesan peluh.
Hingga tahun 2011 PT. KAI masih menjual tiket non tempat duduk. Untuk
lebih "nyaman" dalam perjalanan kereta ekonomi (baca: duduk), penumpang semestinya mendapatkan tiket dengan tulisan nomer tempat duduk. Sementara saat ini kereta dipenuhi oleh lebih banyak mereka
yang berdiri karena tulisan nomer ditiket tak ada.
Banyaknya
orang memenuhi tiap gerbong memaksa penumpang berhimpitan berbagi
tempat diselasar, sambungan gerbong dan bahkan ditoilet kereta..., uuh!. Cukup
wajar karena ini weekend. Akibatnya tak ada tempat kosong dari sekitar
12 rangkaian gerbong yang ada. Bisa dibayangkan, bagaimana tak karuannya penumpang kereta Progo. Bisa jadi seperti itulah mungkin gambaran kehidupan dan kesejahteraan masyarakat bawah kita. Galau dan kacau.
Sebelas duabelas dengan dirinya, dengan
lusuh pakaian kerja, Bagus tertunduh letih. Dirasakannya betapa
semrawut pikiranya dalam memandang kehidupan saat, orientasi disorder tingkat
akut mendekati depresi kalo bukan stres. Sungguh berbahaya.
Perbedaanya
dengan kereta Progo meski kacau ditiap gerbong tua-nya, kereta Progo
masih punya tujuan mulia yaitu setia mengantar penumpang dari Jakarta ke
Jogjakarta PP. Sedangkan Bagus yang dengan pakaian kerja lusuhnya,
seketika kehilangan arah dan tujuan sejak "peristiwa itu". Bahkan Ia
takut terhadap dirinya sendiri. Ia hanya bertahan.
Terbayang
perlahan kisah menyakitkan itu, sungguh melukai. Hatinya telah mencitai
dengan tulus setia. Untuk apapun, semua perlahan sirna dengan perilaku
tak setia. Untuk apapun, semua pelan-pelan lenyap karena perilaku tak
jujur. "Betul kata dunia bahwa batas antara cinta dan benci setipis
kabut pagi", batinnya berucap. Saat matahari muncul, terang cahayanya mengusir
gelapnya kabut pagi. Tak berbekas selain penyesalan.
Dalam pelik masalah cinta, seringkali
manusia tak perlu mengerti, mengapa ini terjadi. Pun tak akan ada
jawaban dari pertanyaan "mengapa itu terjadi ?". Selain jawabanya :
"kamu harus menerima dan telan saja". Tapi inilah sesungguhnya bukti
siapa yang lebih mencintai dan jujur menjaga hati. Atau bukti siapa yang
sukses dibodohi...., ouch!
Sungguh pun begitu, Bagus tetap mencoba menyatakan dengan bersyukur, berterima kasih.
"Segala puji untukMU karena aku masih diberi hidup setelah ini terjadi ",
katanya lirih.
Sambil beranjak keluar gerbong, pandanganya
dibuang jauh keluar kereta Progo, meyakinkan diri bahwa kini ia sampai
di Jogjakarta. Dihirupnya dalam-dalam udara kota ini sambil berharap
udara Jogja yang masuk mampu membersihkan udara kotor Jakarta yang masih
tersisa diruang tubuh dan darahnya.
Jika hidup ini adalah perjalanan, tentunya menyenangkan sekali jika ada teman yang menemani. Namun kini ia harus berjalan sendiri. Coba di ingatnya
pesan bijak bahwa ketika berjalan sendiri, Tuhanlah yang
menemani. Kita bertanggung jawab akan setiap pilihan perjalanan. Yakinlah Tuhan akan menemani kemana pun kita pergi dan berada. Ketika itu terjadi sesungguhnya kita tak perlu takut untuk melangkah.
Komentar
Posting Komentar