BERKUNJUNG KE RUMAH DATU AYUH DI GUNUNG HAHA
"Ampar ampar pisang. Pisangku belum masak. Masak sabigi di urung bari bari.
Mangga lepok mangga lepok, patah kayu bengkok. Bengkok dimakan api, apinya cangcurupan.
Nang mana batis kutung, dikitip bidawang!"
Familiar atau setidaknya pernah mendengar lagu daerah tersebut? Ya.., itu adalah lagu daerah populer asal Kalimantan Selatan. Tapi kalau Halau Halau, tahu nggak? Bisa jadi nggak tahu ya. Jangankan Anda yang orang luar, orang Kalimantan Selatan sendiri banyak yang belum tahu, kecuali anak Mapala dan pecinta alam.
Halau Halau merupakan salah satu gunung di pulau Kalimantan. Bagian dari pegunungan Meratus yang membentang panjang mencakup wilayah Kalimantan Selatan hingga ke Kalimantan Timur. Halau Halau adalah puncak daratan tanah tertinggi di pegunungan Meratus dan di Kalimantan Selatan berketinggiaan 1901 mdpl. Lokasinya berada di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Sekitar 5 jam perjalanan mobil dari kota Banjarmasin.
Sebetulnya gunung Halau Halau dikenal sebagai Gunung Besar. Tapi masyarakat sekitar gunung lebih sering menyebutnya gunung Halau Halau. Nampaknya nama Halau-Halau dikaitkan dengan cerita orang-orang setempat tentang roh orang mati. Masyarakat disitu percaya bahwa siapa saja yang menganut ilmu hitam ketika mati, rohnya akan dipanggil atau “dihalau” oleh Datu Ayuh untuk dikumpulkan kemudian dikurung di gunung tersebut agar tidak mengganggu manusia.
Datu Ayuh sendiri adalah salah satu pertapa sakti yang dulu mendiami kawasan tersebut. Datu Ayuh mengenal betul keadaaaan Pegunungan Meratus, baik alam gaib maupun alam nyata. Salah satu tempat persemedian yang sering dipakai untuk bertapa adalah Gunung Besar. Datu Ayuh ini pula-lah yang dipercaya menurunkan ajaran kepercayaan Hindu Kaharingan pada keturunannya yaitu masyarakat suku Dayak Meratus
Meskipun hanya berketinggian kurang dari 2000 meter, Halau Halau menjadi tanah tinggi favorite bagi penggemar petualang gunung di Kalimantan Selatan dan sekitarnya. Untuk mencapai puncaknya pun dipenuhi aktivitas menantang. Kombinasi tanjakan yang terus naik, seolah olah memberi harapan akan segera sampai puncak, namun kemudian turun kembali. Berulang seperti itu. Membutuhkan kesabaran dan kebulatan tekad.
Bayangkan saja, setelah berjalan 7 jam dan berhenti di shelter pertama yaitu Sungai Karuh, ternyata shelter Sungai Karuh hanya berketinggian 700mdpl. Padahal sejak awal dari base camp Desa Kiyuh sudah disambut dan berjalan melewati tanjakan termasuk tanjakan phytagoras..., yang terus menanjak!. Saya namakan tanjakan phytagoras karena memang tanjakannya sadis seperti rumus phytagoras. Sisi miringnnya curam. Temen seperjalanan saya yang orang asli Kalimantan pun merasakan kesadisanya berupa "munculnya bintang pada siang hari" dikepalanya, sehingga membutuhkan istirahat sejenak karena wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya mengeluarkan keringat dingin setelah dihajar pertengahan tanjakan. "Wah ini akan menjadi PR nanti ketika turun", kata hati saya. Terbukti ada beberapa pendaki yang terpeleset jatuh ketika menuruni tanjakan phytagoras.
Untuk masalah air, pendaki Halau Halau tidak perlu khawatir kekurangan. Jalur pendakian akan melewati paling tidak 11 aliran sungai jernih dan beberapa sumber air. Bahkan di shelter Sungai Karuh kita akan di sambut air terjun setinggi 80 meter. Namun demikian kita mesti waspada juga, terutama terhadap sahabat kecil kita, pacet! Mahluk mungil itu gemar menempel pada tubuh, terutama kaki pendaki yang melewati aliran sungai. Saya juga sempat merasakan ciuman mesra pacet Halau Halau.
Setelah semalaman kita istirahat, tubuh kembali segar dan siap kembali berjalan. Penyaungan adalah shelter kedua yang dituju sebelum sampai dipuncak Halau Halau. Dari cerita obrolan teman semalam, butuh 7 jam berjalan lagi untuk sampai di Penyaungan dengan catatan harus lebih semangat lagi. Hmmm..., semangat lah pastinya. Tapi kenapa harus ditekankan lagi ya "lebih semangat"-nya?.
Rupanya untuk memberikan motivasi, mewakili trek berikutnya yang jauh lebih terjal dibanding sebelumnya. Owww...., ternyata benar adanya. Jalan sempit diantara pohon pohon besar dan pohon-pohon berlumut siap menunggu kita. Kadang menunduk dan merangkak melewati pohon tumbang. Disini saya bisa lihat pohon-pohon besar lebih banyak lagi. Damar, Meranti, Kayu Manis, Pasak Bumi hingga pohon Ulin silih berganti dilewati, tumbuh dengan bebasnya disini. Kelembaban udara juga terasa bertambah. Nyanyian dan kicauan burung mengiringi hampir sepanjang perjalanan.
Sungguh senang berada diantara pohon pohon besar dan rapat masih yang masih terjaga kelestarian. Inilah hutan khas Kalimantan terbungkus sajiaan belantara. Hutannya merupakan hutan lindung yang saat ini di kelola oleh masyarakat adat. Nampaknya hukum adatlah yang turut mampu menjaga hutan tetap lebat. Tidak sedikit saya temui, pohon besar hanya tumbang oleh usia yang menua atau rubuh sendiri karena tanahnya tidak mampu lagi menopang tubuh besar sang pohon. Masyarakat suku Dayak Meratus sangat percaya bahwa semua pohon-pohon besar, batu-batu besar, maupun sungai yang ada di kawasan gunung dikeramatkan. Menurut istilah mereka masing-masing ada nabinya atau penunggunya. Mereka menghormati dan menjaga dengan tidak menebang atau merusaknya.
Berada diketinggian 1400 mdpl Penyaungan memberikan hawa lembab dan dingin. Menjelang senja atau sekitar pukul 5 sore saya tiba di Penyaungan. Saya berangkat tadi pukul 9 pagi, artinya 8 jam perjalanan yang dibutuhkan sampai disini. Penyaungan adalah shelter kedua yang biasa dipake untuk mendirikan tenda. Berupa lereng yang dipenuhi dengan pohon-pohon berlumut. Hanya warna hijau yang mendominasi diantara warna tenda-tenda pendaki. Terlihat sudah puluhan tenda berdiri. Maklum sekarang tanggal 16 Agustus. Pendaki se-Kalsel dan sekitarnya menjelang malam sudah berkumpul mendirikan tenda masing masing untuk bermalam. Besok pagi menjelang subuh, perjalanan menuju puncak dilanjutkan. Upacara bendera 17 Agustus 2014 di puncak Halau Halau siap dilaksanakan. Merdeka!
.
Komentar
Posting Komentar